Republik Demokratik Renang Indonesia

Kalau bicara soal independence dalam dunia olahraga Indonesia, mungkin contoh terbaik adalah Taufik Hidayat jelang Olimpiade 2004 di Athena.

Jelang Olimpiade tersebut, PBSI melepas pelatih Mulyo Handoyo yang sudah membangun dan punya kemistri bagus dengan Taufik.

Singkat cerita, Taufik tidak suka dengan keputusan tersebut dan memilih untuk berlatih di luar pelatnas.

PBSI saat itu melakukan segala upaya untuk “memulangkan” Taufik, yang menjadi andalan kontingen untuk mendapatkan emas, ke pelatnas.

Sebenernya kenapa sih mereka memaksakan Taufik latihan di tempat yg atletnya sendiri merasa tidak cocok?

Ini lebih nyata di kepengurusan renang.

Perenang-perenang Indonesia diharuskan berlatih bersama pelatnas bertahun-tahun sebelum target event, tidak peduli cocok atau tidak perenang dengan pelatih yang disediakan pelatnas.

Olahraga ini bukan sepak bola atau bola voli yang memang harus latihan strategi dan membangun kemistri tim, ini olahraga individu yang menu latihan masing-masing atlet berbeda.

Kenapa pengurus PRSI memaksa atletnya berlatih bareng pelatnas? Seperti PBSI ke Taufik?

Ya untuk mempertahankan kekuatan pengurus.

Kasarnya, kepengurusan tingkat PRSI itu kediktatoran di mana atlet-atletnya gak punya suara dan pilihan.

Seperti Kim Jong Un yang rakyatnya tidak punya kekuatan demokrasi dan dilarang untuk keluar dari negara.

Perenang tingkat nasional di Indonesia tidak punya hak memilih pelatih atau pertandingan.

Jika tidak mau latihan di pelatnas dianggap hengkang dari tim nasional. 

Ya tim nasional negara-negara lain yang sukses punya pemusatan latihan juga, tapi tidak memaksakan kehendak.

Sistem “mengharuskan” ini menyempitkan perspektif perenang-perenang nasional Indonesia. 

Mindset “target tertinggi juara SEA Games terus nyari duitnya di PON” seperti sudah mendarah daging dan terdoktrin sebagai satu-satunya jalan sukses dunia renang Indonesia.

Di tahun 2019 dunia renang berubah dengan adanya International Swimming League, liga renang dunia yg membuka kesempatan kepada banyak perenang untuk mengambil jalur profesional.

Banyak perenang dari penjuru dunia bertanding di ISL, dan bukan hanya perenang Olimpiade yang bertanding di ISL, banyak yang memang hanya spesialis kolam pendek.

Salah satunya adalah Claire Fisch, murid dari mantan pelatih nasional Lisa Siregar. 

Claire adalah perenang lulusan Auburn, anak didik Kak Lisa sejak kecil yang membela Toronto Titans. 

Dia belum pernah berangkat ke kejuaraan dunia dan semacamnya, tapi kebetulan kebolehannya di nomor estafet cocok untuk Toronto Titans.

Sistem ISL membuat renang seperti olahraga permainan di mana setiap atlet punya perannya masing-masing.

Melihat ISL dengan lensa renang Indonesia, otak saya langsung tertuju pada Fadlan Prawira yg menurut saya perenang Indonesia paling cocok bertanding di ISL.

Walau ada perenang Indonesia lain yg sudah lolos waktu kualifikasi ISL draft, kemampuan Fadlan untuk bertanding back-to-back di berbagai nomor pertandingan lah yg membuat saya yakin model pertandingan ISL yg padat cocok untuknya.

If there is one Indonesian swimmer that could or should compete there, it’s him.

Tapi apa daya, pasti dibilang “mimpi ketinggian” atau “gausah muluk2 lah”.

Terus latihan setiap hari tujuannya apa? Ngikutin pengurus yg otaknya cuma ngejar medali SEA Games then call it a day?

Mau nyari pencaharian sambil ngejar prestasi tapi cuma mengandalkan PON yang sorry to say, berdasarkan PON Papua kemarin, gengsinya udah gak ada.

Saya tidak merendahkan medali SEA Games karena untuk mendapatkan itu susahnya setengah mati. Yang salah adalah melihatnya sebagai satu-satunya pendefinisi “sukses”.

Nyatanya SEA Games dan ISL tidak bisa dibandingkan apple-to-apple, model pertandingan dan jarak kolamnya saja sudah beda.

Mencari kesempatan tembus ke ISL juga tidak sesederhana harus berenang cepat, harus mengerti langkah-langkah masuk draft tim ISL, mengerti nomor apa yg bisa jadi celah untuk masuk salah satu tim ISL, dan seperti bisnis pada umumnya, harus berani menginvestasikan dana untuk bisa membuka kesempatan tersebut.

Atlet harus belajar independen dan (idealnya) dibantu orang yg mau bantu mencari jalan, bukan pengurus-pengurus PRSI yg otaknya cuma ngejar target yang dikasih atasan.

Intinya, sistem pengurusan renang Indonesia mengurung atlet-atletnya secara fisik dan psikologis.

Bukan hanya melarang atletnya untuk memilih tempat latihan yg terbaik untuk mereka sendiri, tapi juga mendoktrin target prestasi yg wawasannya sempit.

Mungkin contoh Taufik Hidayat terkesan terlalu ekstrim mengingat dia peraih medali emas Olimpiade, tapi renang Indonesia kan memang belum ada pada tingkatan itu. 

Misalnya satu perenang top memilih latihan di luar pelatnas secara independen, apa pengurus gak rugi kalau moncoretnya?

Atlet harus sadar bahwa tanpa mereka, pengurus tidak punya apa-apa.

Leave a comment